KOLAKA – Pungutan tambat labuh yang diterapkan di Desa Muara Lapao-pao, Kecamatan Wolo, Kabupaten Kolaka senilai Rp10 juta sekali kapal tambat labuh berdasarkan Peraturan Desa (Perdes), apakah merupakan tindakan yang legal atau pungatan liar (Pungli)? karena diduga bertentangan dan pengesampingan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berdasarkan Undang-undang Desa nomor 6 tahun 2014, pada pasal 69 ayat (1) jenis peraturan di desa terdiri atas peraturan desa, peraturan bersama kepala desa, dan peraturan kepala desa. (2) Peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Perdes Muara Lapao-pao nomor 4 tahun 2023 tentang Pendapatan Asli Desa yang bersumber dari aset desa dan pungutan desa, ditetapkan tanggal 6 September 2023 yang ditandatangani oleh Kepala Desa Muara Lapao-pao Abdullah, serta diundangkan pada 3 Mei 2023 dan ditandatangani oleh Sekretaris Desa Muara Lapao-pao lembaran Desa Muara Lapao pao tahun 2023 nomor 4, dalam BAB VIII Penetapan Persetujuan Pungutan Desa pada pasal 9 ayat 2, besarnya tarif pungutan sewa sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf b adalah sebagai berikut : a. Kekayaan/Aset Desa Tambat Labuh Kapal ke pihak ketiga sebesar Rp. 10.000.000,/Per sekali Tambat Labuh Kapal.
Atas dasar Perdes tersebut, pihak Pemdes, tokoh masyarakat dan warga Muara Lapao-pao mencegat agen kapal yang lewat serta mendatangi setiap kapal tongkang yang tambat dan labuh pada perairan Terminal Khusus (Tersus) milik PT Ceria Nugraha Indotama (CNI), dengan memaksa vendor kapal dan agen Kapal untuk membayar invoice pendapatan asli dari aset/kekayaan Desa Muara Lapao sebesar Rp10 juta setiap kapal sebelum meninggalkan Tersus.
“Kami naik ke kapal ini untuk membawakan invoice karena ada aturan Perdes Muara Lapao sebesar Rp10 juta persekali kapal tongkang berlabuh dan Perdes Muara Lapao ini sudah dilakukan verifikasi Kepala BPMD dan Bagian Hukum Pemda Kolaka,” kata Ketua Karang Taruna Desa Muara Lapao, Binahar saat di atas kapal membawa invoice kepada kapten kapal, sesuai video yang beredar.
Sementara warga Desa Muara Lapao Pao, Syahril bersama aparat desa dan tokoh masyarakat, Minggu (14/5/2023) malam mendatangi kapal dan naik ke kapal untuk menagih invoice.” Tujuan kami datang ke kapal ini tidak lain untuk memberikan invoice dan melaksanakan peraturan desa yang sudah ada, dan ini adalah invoice yang harus dilunasi dan kapal bisa berangkat apabila sudah membayar aturan yang ada di desa kami,” ujar Shyaril didepan awak kapal tongkang dalam video yang beredar.
Juga dalam gambar lainnya, salah satu agen kapal di cegat saat akan menuju ke kapal dengan membawa dokumen kapal dan diarahkan ke salah satu rumah di Desa Muara Lapao-pao Jumat (12/5/2023). Saat dirumah warga tesebut, agen kapal TB Dwidaya diminta untuk menyerahkan dokumen kapal sampai masalah pembayaran invoice Rp10 Juta dibayarkan. Dokumen kapal dibuatkan berita acara serah terima dokumen TB Dwidaya dengan yang menerima dokumen sebanyak 5 orang dan dilengkapi dengan nama, tanda tangan dan cap stempel kepala desa.
Kabag Hukum Pemkab Kolaka, Irsan ditemui di kantornya, Senin (22/5/2023) membenarkan adanya Perdes Muara Lapao-pao nomor 4 tahun 2023 tentang PAD yang bersumber dari aset desa dan pungutan desa dan sudah memverifikasinya. Bagian hukum sudah mengkajinya dan tidak bertentangan dengan perundangan/hukum diatasnya.
“Boleh (Perdes) karena itu berkaitan dengan aset dan tidak tumpah tindih dengan kebijakan atau aturan lain,” katanya.
Menurut Irsan, sesuai Perdes yang di pungut PAD-nya adalah tambatnya atau daratannya yang selama ini menjadi aset desa. Pihak desa mengakui kalau selama ini daratan tersebut belum ada pemiliknya atau pengelolanya sehingga itu menjadi kewenangan desa.
“Mereka juga mengatakan kalau sudah ada yang memperoleh izin, mereka tidak akan berani mengelolah PAD. Mereka siap ikuti aturan,” ungkapnya.
Terkait ini, Irsan mengaku telah rapat bersama pihak Polres Kolaka, dimana nantinya pihak kepolisian akan ke perusahaan melihat apakah sudah memiliki dasar atau izin terkait tambat atau daratan yang dimaksud atau tidak, kemudian mencarikan solusinya.
“Mereka itu tidak mau dikatakan pungli, apalagi Perdesnya sah,” kata Irsan.
Sementara itu, pihak Syabandar Kolaka yang dikonfirmasi berkaitan dengan Perdes Tambat Labuh, enggan memberikan komentar dan menganggap itu bukan kewenangan mereka, termasuk saat ditanya mengenai pungutan PAD Rp10 juta, apakah bertentangan dengan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBJ)? pihak Syahbandar Kolaka juga tidak mau berkomentar.
“Soal itu kami tidak mau berkomentar, karena bukan kewenangan kami,” kata Herman.
Pungutan tambat labuh sebesar Rp10 Juta yang dipungut berdasarkan Perdes Muara Lapao-pao Nomor 4 Tahun 2023, karena menilai laut/perairan merupakan aset/kekayaan Desa Muara Lapao-pao, sehingga Perdes Muara Lapao pao melabrak dan bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil yang diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014, UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan UU Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak serta UU No 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Selain melakbrak Undang-Undang, Peraturan Desa Muara Lapao Pao pungutan tambat labuh juga melibas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Perhubungan dan PP Nomor 31 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran serta PP Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. (*)