KOLAKA UTARA – Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Kolaka Utara (Kolut) membeberkan sejumlah pelanggaran terkait aktivitas pertambangan nikel yang dilakukan oleh PT Kasmar Tiar Raya (KTR).
Sejumlah pelanggaran itu diungkapkan DLH Kolut saat menghadiri rapat dengar pendapat (RDP) kedua di Kantor DPRD Kolut, Senin (16/1/2023).
Awalnya, dalam RDP yang dipimpin Wakil Ketua I DPRD Kabupaten Kolaka Utara itu, puluhan masyarakat yang tergabung dalam barisan Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) mendesak PT KTR melakukan ganti rugi akibat luapan lumpur yang menggenangi lahan pertanian warga. Warga juga mendesak agar aktivitas pertambangan PT KTR dihentikan sementara sampai adanya solusi yang ditawarkan.
Menanggapi hal tersebut, Humas PT Kasmar Tiar Raya, Hasrul, membantah tuduhan warga yang menyebut bahwa aktivitas pertambangan PT KTR menyebabkan terjadinya luapan lumpur di Desa Mosiku dan Lelewawo, Kecamatan Batu Putih.
“Bahkan sudah kami laksanakan normalisasi sungai untuk mencegah terjadinya pendangkalan, tetapi tidak selesai dikerjakan karena pada waktu itu masyarakat sendiri menghalangi,” terangnya.
Ia juga membantah tuduhan warga yang menyebut bahwa pihaknya menjadi penyumbang lumpur di Desa Mosiku dan Lelewawo, Kecamatan Batu Putih. Sebab menurut dia, ada perusahaan lain yang juga melakukan aktivitas pertambangan di wilayah yang terdampak luapan lumpur itu.
Akan tetapi, pernyataan itu langsung dibantah oleh Kepala Bidang Penataan dan Penataan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup DLH Kolut, Ukkas. Kata dia, PT KTR merupakan penyumbang utama luapan lumpur di lahan pertanian masyarakat Desa Mosiku dan Lelewawo, Kecamatan Batu Putih.
Ukkas menyebut, saat ia bersama tim DLH Kolut mengecek wilayah yang terdampak lumpur, ia melihat langsung puluhan hektar lahan pertanian warga tertutup lumpur tambang.
“Aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh pihak perusahaan mulai dari pembukaan lahan, serta titik ketinggian dan kemiringan lereng, sehingga limpasan air lumpur mengalir ke sebelah timur IUP-nya dan mengarah pada pemukiman, perkebunan dan persawahan,” ungkapnya.
Ukkas juga membeberkan sejumlah fakta lain terkait aktivitas pertambangan PT KTR, di antaranya hasil bukaan lahan dari aktivitas PT KTR membawa sedimen padat berupa lumpur ke dataran rendah apabila hujan deras turun.
“Akibatnya dua sungai kecil di Desa Lelewawo dan Mosiku mendangkal dan airnya berwarna merah kecoklatan mengalir ke laut,” ungkapnya.
Selain itu, ia juga mengungkap bahwa saluran dan sediment pond PT KTR tidak efektif. Akibatnya, lumpur dari atas gunung melumuri jalan Trans Sulawesi, lahan pertanian, hingga sungai saat hujan lantaran penampungan itu meluap.
“Tidak hanya itu, PT KTR sejak beroperasi pada tahun 2021 hingga saat ini belum pernah melaporkan pelaksanaan RKL-RPL secara periodik. Padahal itu tertuang dalam surat kelayakan keputusan lingkungan tentang kelayakan lingkungan hidup,” ucapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua I DPRD Kolut, Ulfa Haeruddin, menegaskan bahwa PT KTR harus bertanggung jawab atas aktivitas pertambangan yang dilakukan. Ia juga menegaskan akan mengawal permasalahan ini hingga tuntas.
“Bentuk tanggung jawab itu akan disampaikan oleh pihak PT KTR paling lambat hari Jumat ini kepada kami terkait penyelesaian, entah itu ganti rugi maupun dampak lingkungan yang terjadi di dua tersebut,” imbuhnya.
“Kalau tidak ada kejelasan di hari yang telah ditentukan, maka kami akan bersurat dan selanjutnya masyarakat silahkan melaporkan kejadian ini kepada pihak penegak hukum, karena DPRD sudah beberapa kali melakukan pemanggilan kepada Dirut PT Kasmar Tiar Raya tapi selalu tidak hadir,” katanya. (feb)